Sarasa mulai produksi tegel sejak 2009. Kami mulai dari nol terdorong oleh rasa asyik membuat sesuatu yang indah dan kuat seperti jaman Belanda.
Simak cerita berikut ini. ☺
Jaman produksi batik tulis
Sarasa tegel mulai terjung ke dunia produksi tegel sejak 2009.
Sebelumnya Heru, pendiri Sarasa Tegel, membuat batik tulis dengan metode “serba sendiri”. Desain sendiri, membatik sendiri, mewarna sendiri, melorot sendiri.
Bisa saja memakan waktu 3 bulan untuk selesaikan selembar kain dengan sistem itu.
Memang prosesnya lama sekali, tapi dia menikmatinya karena bersukacita hatinya.
Semenjak kecil, Heru, anak kota Tembakau ini suka menggambar. Sambil membantu bapak duda yang sibuk mengurus 6 anak, Heru selalu mencari waktu sela untuk menggambar binatang lucu-lucu di secarik kertas.
Cinta kepada benda kuno
Setelah dewasa, Heru mulai tertarik oleh rumah-rumah jawa. Bangunan Jawa didasari dengan pilihan kayu, letak bangunan, juga gambar ukiran yang sangat menarik yang tercermin dari filsafat jawa.
Heru juga mulai tertarik dengan estetika seni jawa kuno yang terkandung di setiap benda interior bangunannya.
Dari benda-benda kuno itu, Heru merasakan aspirasi orang nenek moyang kita untuk hidup dengan indera seni menggunakan bahan alam di sekitarnya.
Dan keharmonisan antara karakter bahan alam dan jiwa orang berkarya itulah yang memberikan keistimewaan ke masing-masing benda.
Hidup dengan nilai seperti itu lah yang membuat kita kaya dan istimewa, pikir Heru.
Terpana oleh proses tegel dari artikel majalah
Pada suatu hari di sela waktu mengerjakan batik, Heru sempat membaca majalah, dan menemukan artikel tentang pembuatan tegel, dan foto prosesnya tercantum di situ.
Merasa tertarik sekali, Heru mencoba bikin sendiri tanpa mengenal cara produksi sama sekali. Belum tahu bahan, dan belum tahu perlunya mesin pres hidrolis atau cetakan baja untuk pengepresan. Maka sama sekali tidak berbentuk hasilnya.
Mengingat sangat minimnya sumber informasi online pada tahun 2009, mencari suatu ilmu produksi itu masih sangat susah.
Maka Heru terpaksa mencari orang yang berpengalaman produksi tegel, ke sana ke sini. Tanya teman, tanya tetangga, tanya ke bengkel, tanya ke tukang ronsok, cari pabrik tegel lama yang sudah tutup. (*Pada tahun 2009, banyak pabrik tegel lama pada tutup terkecuali pabrik legendaris, Tegel Kunci dan Tegel Diamond. Pada waktu itu, belum mulai bangkit kembali tren tegel.)
Setelah beberapa bulan pencarian, akhirnya dapat berkenalan dengan bapak Bashori, ahli Hidrolis pengepresan tegel sejak tahun 70an, jaman jayanya produksi tegel di Jogjakarta.
Masa pencarian demi menghasilkan tegel kualitas terbaik Jaman Belanda
Sejak itu, Sarasa Tegel sungguh mulai dari nol belajar tentang produksi tegel.
Pertama, Heru mencari referensi tentang resep pembuatan tegel jaman Belanda, yang menurutnya kualitas sudah teruji oleh sejarah. Yang menjadi acuannya adalah tegel model kuno yang terpasang di bangunan kuno tapi masih terlihat sangat indah sampai sekarang.
Lalu resep itu dicoba praktekkannya sendiri.
Awalnya kami gagal terus, karena masih belum tahu hal-hal kecil tapi pokok yang harus tahu dalam pembuatan tegel, semisal tingkat kelembaban adonan, atau tips untuk melepaskan tegel dari cetakan.
Setelah menekuni kira-kira 3 tahun, pencarian ilmu mulai berbuah.
Upaya menambah sentuhan seni di masa serba “cepat dan praktis”
Menurut Heru, produksi tegel itu seperti mencari kopi.
Berbeda dengan sembako, kita bisa bertahan hidup tanpa minum kopi.
Tapi dengan secangkir kopi, kita akan menikmati aromanya, pahit dan manisnya. Hidup kita menjadi hangat dan berwarna.
Dari segi arsitektur, jaman sekarang ini semakin minim aromanya di bangunan-bangunan baru. Semakin banyak material produksi massal. Semakin banyak rumah bergaya ‘minimalis’.
Kami akan melawan arus itu dengan produksi tegel buatan tangan satu per satu, untuk kita tetap bisa menikmati hidup dengan sentuhan seni setiap hari di hunian kita.